* Risalah ini pertama kali dimuat oleh Majalah Mingguan Al-Ikhwan Al-Muslimun,No. 2/II, 26 Muharram 1353 H atau 11 Mei 1934, h. 1-3
Pendahuluan
Dalam banyak kesempatan, mungkin Anda pernah berbicara dengan orang banyak tentang berbagai masalah. Anda yakin bahwa semua cara yang mungkin digunakan untuk menjelaskan apa yang Anda inginkan telah Anda lakukan. Anda pun merasa bahwa semua menjadi jelas, sejelas fajar subuh, atau bahkan sejelas matahari di siang hari. Tapi, seketika itu pula Anda mungkin terhenyak karena ternyata para pendengar tidak memahami penjelasan Anda.
Saya telah menyaksikan dan merasakan hal tersebut di banyak kesempatan. Saya percaya bahwa rahasia yang ada di balik itu –tidak akan lebih dari– salah satu dari dua hal berikut ini; pertama, mungkin karena tolok ukur yang digunakan oleh masing-masing kita dalam mempersepsi apa yang ia dengar dan apa yang ia katakan saling berbeda sehingga terjadilah perbedaan pemahaman itu. Atau mungkin juga karena ucapan itu yang samar dan tidak jelas meskipun sang pembicara sendiri yakin bahwa ia telah menyampaikannya dengan sangat jelas.
Tolok Ukur
Melalui kalimat-kalimat berikut, saya ingin menjelaskan –dengan sejelas-jelasnya– tentang berbagai dimensi dakwah Al-Ikhwan Al-Muslimun meliputi tujuan, sasaran, metode, dan sarana-sarana yang digunakannya. Tapi sebelumnya saya ingin membatasi tolok ukur yang harus digunakan dalam mengukur tingkat kejelasan tersebut, kemudian berusaha menjelaskannya semudah mungkin, sehingga setiap pembaca yang ingin mengambil manfaat dapat memperolehnya. Saya kita, tidak seorang muslim pun akan berbeda dengan saya untuk mengatakan bahwa tolok ukur itu adalah Kitabullah; dialah lautan dari mana kita meraup mutiara kecemerlangan dan referensi menentukan hukum.
Wahai Kaum
Al-Quran Mulia adalah kitab sempurna dimana Allah memadukan dasar-dasar kepercayaan, kaidah-kaidah perbaikan sosial, prinsip-prinsip umum hukum keduniaan, serta sederet perintah dan larangan. Sudahkah kaum muslimin melaksanakan kandungan Al-Quran? Sudahkah mereka meyakini kepercayaan-kepercayaan yang seharusnya diyakini? Benarkah mereka telah betul-betul memahami tujuan-tujuannya? Apakah mereka telah menerapkan system sosial dan sistem-sistem lain yang vital dalam kehidupan mereka?
Apabila dalam pembahasan ini kita sepakat bahwa mereka telah melakukannya, berarti kita telah sampai ke tujuan. Tapi, jika ternyata kita menemukan bahwa mereka masih sangat jauh dari ajaran-ajaran Al-Quran maka merupakan tugas kita untuk bersama-sama kembali ke jalan itu.
Tujuan Hidup dalam Al-Quran
Al-Quran telah menjelaskan tentang tujuan hidup manusia dan sikap yang semestinya mereka ambil dalam menentukan tujuannya. Al-Quran menjelaskan bahwa sebagian manusia menjadikan makan dan kesenangan yang lain sebagai tujuan hidupnya.
Firman Allah,
“Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad: 12)
Al-Quran juga menjelaskan bahwa sebagian manusia yang lain menjadikan perhiasan dan kekayaan sebagai tujuan hidupnya.
Firman Allah,
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran: 14)
Al-Quran juga menjelaskan bahwa ada sebagian manusia yang menjadikan penyebaran fitnah, kejahatan, dan kerusakan sebagai tujuan hidupnya. Firman Allah,
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 204-205)
Itulah beberapa macam tujuan manusia dalam menjalani hidupnya menurut Al-Quran. Allah telah membersihkan kaum mukminin dari tujuan-tujuan buruk itu dan mencanangkan untuk mereka sebuah tujuan yang lebih mulia dan luhur. Di atas pundak mereka Allah telah meletakkan beban besar yang sangat luhur, yaitu tugas membawa manusia ke jalan kebenaran, membimbing mereka ke jalan kebaikan, menerangi seluruh penjuru dunia dengan matahari Islam.
Dengarlah firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.” (QS. Al-Hajj: 77-78)
Artinya, Al-Quran telah menjadikan kaum muslimin sebagai mandataris-Nya di hadapan umat manusia; memberikan hak kepemimpinan dan kewenangan atas dunia untuk menunaikan mandat suci itu. Jadi, kekuasaan itu adalah hak kita, bukan hak barat atau siapa pun. Keberadannya adalah demi peradadan Islam, dan bukan peradaban materialisme.
Mandat Suci itu Berarti Pengorbanan, Bukan Pemanfaatan
Selanjutnya, Allah menjelaskan bahwa dalam mencapai tujuan suci, kaum muslimin rela menjual jiwa dan hartanya kepada Allah. Dengan keimanannya, mereka merasa tidak berhak lagi atas jiwa dan hartanya. Keduanya telah menjadi wakaf di jalan Allah demi menyukseskan dakwah dan menyampaikannya kepada segenap hati manusia.
Firman Allah,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS.At-Taubah: 111)
Itulah sebabnya mengapa setiap muslim menjadikan dunianya sebagai wakaf bagi dakwahnya agar ia dapat mendapatkan akhirat sebagai balasan dari Allah atas pengorbanannya. Itu pula sebabnya mengapa seorang pejuang muslim adalah juga seorang guru yang memiliki semua sifat yang semestinya ada pada seorang guru; cahaya, hidayah, rahmat, dan kelembutan. Sehingga pembebasan Islam berarti juga pembebasan demi peradaban, kemajuan, pengajaran, dan bimbingan kepada seluruh umat manusia. Samakah hal ini dengan dominasi Barat sekarang yang mewujud dalam imperialisme dan penindasan?
Di Manakah Posisi Kaum Muslimin dari Tujuan Tersebut?
Demi Tuhanmu, saudaraku tercinta; apakah kaum muslimin memahami makna tersebut dari Al-Quran sehingga jiwa dan ruh mereka naik ke langit ketinggian, terbebas dari perbudakan materialisme, bersih dari syahwat dan ambisi dunia, mengarahkan wajah dengan lurus kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, menegakkan kalimat Allah dan berjuang di jalan-Nya, serta menyebarkan agama dan membela syariat-syariat-Nya?
Ataukah mereka justru telah menjadi tawanan syahwat dan budak keserakahan, dimana mereka hanya memikirkan makanan lezat, kendaraan megah, perhiasaan mewah, tidur nyenyak, istri cantik, penampilan parlente, dan gelaran-gelaran palsu?
Mereka sudah cukup senang dengan mimpi-mimpi dan teruji dengan keberuntungan
Mereka bilang menyelami laut perjuangan tapi mereka tak teruji
Sungguh benar ketika Rasulullah bersabda,
“Celakalah hamba Dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba selimut.” (HR. Bukhari)
Tujuan adalah Dasar, Perbuatan adalah Buahnya
Tujuan adalah dasar yang mendorong kita sepanjang perjalanan. Tapi karena tujuan itu masih samar bagi umat kita maka adalah wajib bagi kami untuk menjelaskannya dan membatasinya. Saya kira, kami telah menjelaskan banyak hal. Kita telah sepakat bahwa tujuan kita adalah memimpin dunia dan membimbing manusia kepada ajaran Islam yang syamil, dimana manusia tidak mungkin menemukan kebahagiaan kecuali bersamanya.
Setelah mengetahui hal ini, wahai pembaca yang terhormat, maka katahuilah bahwa tujuan Al-Ikhwan Al-Muslimun adalah menyeru umat manusia untuk menggapainya, dimana Al-Quran juga telah menyerukan hal itu.
“Maka Barangsiapa yang mengikutiku maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku; dan barangsiapa yang mendurhakai aku maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ibrahim: 36)
Apabila umat Islam telah memahami tujuan ini dan berkonsentrasi menggapainya, maka hal itu sudah cukup untuk membuka tabir kelalaian dalam diri mereka. Hal itu sudah cukup untuk menunjukkan titik-titik kelemahan mereka, membimbing umat menuju kebahagiaan yang dapat menyejahterakan kehidupan, memperbaiki kondisi masyarakat,dan merealisasikan harapan-harapannya.
Itulah yang akan kita bahas pada edisi selanjutnya, insya Allah.
Dikutip dari:Buku Risalah Pergerakan, Majmu'atu Rasa'il, Imam Hasan Al-Banna